Mengatasi Masalah pribadi ~ Urip sudah beberapa tahun bekerja di sebuah perusahaan yang cukup besar. Memang pekerjaannya cukup berat, menghadapi pelanggan yang selalu marah-marah dan bersikap kasar. Lama kelamaan, tanpa disadarinya, dia semakin mudah marah. Lama kelamaan dia semakin kasar, baik sikapnya maupun perkataannya.Suatu ketika, dalam rapat internal, semua orang membicarakan cara
bagaimana meningkatkan pelayanan agar keluhan pelanggan berkurang. Pak Alex yang menjabat sebagai supervisor memberikan saran.
"Kita perlu memperhatikan kebutuhan pelanggan. Mengapa pelanggan marah? Mungkin saja karena kebutuhannya tidak terpenuhi.""Bagaimana menghadapi pelanggan yang berbicara kasar dan menyerang pribadi? Misalnya, 'Kamu ini kok bodoh sekali? Sudah berapa lama kerja di sini?'. Saya kan tidak terima kalau dibilang begitu?", tanya Urip."Nah, di sinilah kunci melayani pelanggan. Pelanggan bukan marah kepada kita sebagai pribadi. Dia marah karena kecewa terhadap pelayanan kita, cara kerja kita, produk kita, atau lainnya. Jangan dianggap sebagai masalah pribadi", kata pak Alex."Betul, jangan dianggap sebagai masalah pribadi. Kecuali kita memang salah, misalnya lupa, keliru, atau lainnya, ya sudah, minta maaf saja. Atau mungkin perkataan kita menyakitkan hatinya, ya wajar dong kalau orang lain marah", kata salah seorang karyawan lain.Mendengar jawaban itu, seperti biasa Urip membantah. Memang dia selalu membantah pendapat orang lain. "Wah, ya tidak
bisa begitu! Dia jelas-jelas menuding saya sebagai orang bodoh! Masa bukan pribadi?" katanya dengan berang dan penuh emosi.Dengan sabar pak Alex berkata: "Coba kita tenangkan hati dulu, nanti malam direnungkan sendiri apakah yang saya katakan ini betul. Oke? Mari kita mengumpulkan usulan lain".Urip masih penasaran, tapi dia berusaha menahan diri.
Sepulang dari kantor, Urip mampir ke sebuah toko untuk membeli gula. Di toko itu ada seorang bapak sedang membeli beras. Setelah mendapatkan beras, dia membayar harganya. Karena bapak itu naik sepeda motor, beras itu perlu diikat di jok. Entah mengapa, ketika akan pergi, sepeda motornya miring dan bapak tersebut hampir jatuh. Bapak itu langsung marah dan membentakbentak.
Dia menyalahkan karyawan toko yang tadi mengikat karung berasnya.Tapi orang yang dimarahinya tetap tenang. Dia berkata: "Maaf pak."
Lalu segera mengambil tali baru dan dengan cekatan mengikatnya lagi. Ekspresi wajahnya sangat tenang. Setelah selesai, dia dengan sopan berkata: "Sudah pak. Bisa tolong dicoba apakah sudah cukup kuat?" Bapak itu menarik-narik tali tersebut, ternyata sudah kuat.
"Ya sudah!", katanya. Lalu dia pergi.Diri sendiri Karyawan yang tadi dimarahi tetap tenang saja, tampaknya tidak kesal atau sakit hati. Urip berkata kepada karyawan tersebut: "Wah galak amat. Kan dia sendiri yang mau jatuh. Kok marah ke orang lain. Lawan aja mas! Jangan diam saja!" Tapi dengan tersenyum orang itu berkata:
segera membayar gula yang dibelinya. Sesampainya di rumah, Urip teringat terus kejadian yang baru saja dilihatnya tadi. Kata-kata karyawan toko tadi terus terngiang-ngiang di telinganya. "Yang jelas, dia sebenarnya bukan marah kepada saya mas.
"dalam hati kecilnya, Urip sadar bahwa yang membuatnya mudah marah dan bersikap kasar serta emosional adalah perasaannya yang merasa diserang pelanggan. Semua sikap marah atau keluhan pelanggan, dianggapnya sebagai kemarahan yang ditujukan kepada dirinya secara pribadi. Itulah yang membuatnya marah dan kesal. Dia merasa tidak salah kok dimarahi. Tersinggung dong.Tapi
pegawai toko tadi tidak tersinggung. Dia malah bisa bersikap lebih profesional. Dia tidak menganggap kemarahan pelanggan sebagai masalah pribadi. Pantas, wajahnya tetap tenang, tidak
tertekan. Urip jadi merasa malu terhadap dirinya sendiri. Betapa kekanak-kanakan sikapnya selama ini. Seperti anak kecil. Sangat tidak dewasa. Sangat tidak profesional. Mulai malam ini, Urip berjanji kepada dirinya sendiri untuk belajar bersikap seperti karyawan toko tadi. Dia ingin memisahkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi. Mungkin perlu waktu, tapi Urip sungguh-sungguh berniat mengubah dirinya. Dia sendiri sudah terlalu lelah bersikap pemarah.
Energinya terbuang untuk terus-menerus marah dan kesal. Sangat melelahkan. Berbeda dengan karyawan toko tadi yang wajahnya tenang dan damai. Tidak tertekan. Pokoknya pisahkan masalah pekerjaan dari masalah pribadi.
Be professional! Sumber : anonymous
0 Response to "Mengatasi Masalah pribadi"
Post a Comment