Ketabahan Hidup Sebelum Menuai Sukses
Di suatu pagi yang permai, di sebuah areal persawahan yang indah, seorang petani terlihat berdiri sambil memandangi tanaman padi di sawahnya yang cukup luas hijau membentang.Sudah sebulan lebih padi di tanam, kini daunnya sudah menghijau. Setelah berkeliling di antara petak-petak sawahnya, matanya terhenti pada rumput-rumput liar di antara tanaman padinya. Rumput itu terlihat tumbuh subur dan bahkan lebih subur dari tanaman padinya.
Hari semakin siang, matahari semakin terik. Tanpa tunggu lama, pak Tani menyingsingkan lengan bajunya, turun ke sawah dan menyiangi rerumputan di sela pepadian itu. Petak demi petak dia bersihkan, sementara panas matahari kian menyengat. Keringat pak Tani bercucuran, sesekali ia menyeka mukanya dengan lengan bajunya. Ia tak peduli dengan panas yang membakar kulitnya.
Tanpa terasa adzan Dhuhur berkumandang dari kejauhan. Ia terhenti sejenak, kemuadian melangkah ke tepi, berjalan menyusuri pematang dan berhenti di sebuah gubug kecil di tengah sawahnya. Ia kipas-kipaskan tudung di kepalanya ke wajahnya yang terlihat kelelahan, hembusan angin sepoi-sepoi terasa menyegarkan tubuhnya yang memerah dan basah oleh keringat. Sebuah botol minuman ia raih, dengan beberapa tegukan ia obati dahaga yang dari tadi ia rasakan. Sejurus kemudian ia mengambil bekal makanan di sampingnnya, membukanya, dan memakannya dengan lahap, habis tak tersisa. Ah…, betapa nikmatnya makan di tengah sawah yang mulai menghijau dengan angin yang sepoi-sepoi, diiringi kicauan burung-burung. Sungguh alami pemandangan di depan sana, hamparan hijau di bawah birunya langit…
Setelah merasa cukup istirahat, ia bergegas ke sebuah sungai kecil di samping sawahnya. Ia ambil air wudlu, kembali ke gubug, berganti pakaian, dan …Alloohu akbar! Ia berdiri mengahadap kiblat dengan penuh kekhusyu’an. Masya Alloh, di tengah sawahnya ia tiada lalai untuk bersujud menghadap Ilahi. Setelah selesai sholat, ia pun melanjutkan pekerjaannya yang masih panjang, membersihkan rumput-rumput yang tumbuh di antara tanaman padinya.
Setelah beberapa lama, tiba-tiba langit berubah warna, biru dan cerah yang sejak pagi menghiasi angkasa tiba-tiba menjadi mendung yang menyelimuti, beberapa kali terdengar petir mulai menyambar. Tanpa menunggu lama hujan pun turun dari langit dengan derasnya membasahi seluruh tanaman yang tumbuh di persawahan itu. Sejenak pak Tani menghentikan pekerjaannya, tertegun memandang sekeliling, sepi tak ada seoarangpun yang masih berada di persawahan sekitarnya, kemudian ia melanjutkan pekerjaannya lagi.
Hujan kian deras, petir berderu di angkasa memekakkan telinga. Pak Tani tiada bergeming dari kegiatannya, walau badannya basah kuyup, dengan cangkul kecilnya ia terus menyusuri sela-sela tanaman padinya, menggemburkan tanah dan mencabut rerumputan yang tumbuh liar. Panas yang tadi membakar telah sirna dan berganti dingin yang menusuk tulang. Sesekali badannya bergetar seperti menggigil, tapi ia tak peduli, ia terus melangkah. Tiba-tiba sebuah kilat menyambar seperti di depan wajahnya, kemudian… DUARRR!! Gelegar petir membahana mengikuti kilat kuning emas yang merambat dari langit ke bawah dalam seper sekian detik.
Sontak pak Tani terkejut, badannya berguncang dan hampir terjatuh ke belakang. Ia
mengusap dadanya sambil berguman, “Subhanalloh…”. Ia berdiri terdiam, kembali ia pandangi keadaan sekeliling. Sejauh mata memandang, hanya air hujan yang terlihat, dedaunan tertunduk menahan air, sunyi…, hanya air hujan yang terdengar. Ia baru sadar tinggal dirinya seorang yang masih berdiri di tengah persawahan itu. Kesunyian mencekam, tiada seekor jangkrik pun yang berani bersuara, hanya deru angin dan hujan serta petir yang silih berganti bergemuruh. Tiba-tiba hati kecilnya berkata, “Kamu harus pulang, alam sedang tidak bersahabat, kamu bisa celaka disambar petir…”. Kemudian ia pandangi seluruh sudut sawahnya, terlihat dedaunan padi tertunduk kedinginan, ia menghela nafas sejenak dan bergumam, “Apapun yang terjadi aku akan tetap merawatmu wahai padi…, karena aku yakin suatu hari esok aku pasti akan memanenmu”. Lalu, ia pun melanjutkan pekerjaannya.
Tak berapa lama kemudian, sayup-sayup terdengar suara adzan Ashar dari kejauhan di selasela suara gemericik air yang mulai mereda. Pak Tani menghentikan kerjanya, berlajan ke tepi menyusuri pematang menuju gubug, membenahi bekal lalu melangkah pulang dengan hati bahagia, tak peduli badannya basah kuyup, dingin menusuk tulang.
Demikianlah perjuangan pak Tani yang tak kenal lelah, tak peduli panas dan hujan, demi tanaman padinya yang yakin dengan pasti kelak akan ia panen. Ia yakin suatu hari nanti akan menikmati hasil jerih payahnya hari ini. Maka, ia pantang menyerah menghadapi segala tantangan dan hambatan yang menghadang. Ia bulatkan tekad untuk mempersembahkan yang terbaik.
Seharusnya, demikian juga kita dalam mengarungi kehidupan, kita harus punya tujuan yang jelas dan pasti yang akan kita capai esok lusa, dan kita bulatkan tekad dan segala daya upaya untuk mencapainya. Jangan mimpi semuanya akan berjalan lancar tanpa rintangan. Menanam padi saja pasti rumput akan ikut tumbuh, demikian juga impian yang kita tanam, pasti juga akan ditumbuhi semak dan ilalang. Kalau semak dan ilalang tidak kita bersihkan, bisa jadi impian kita akan layu dan mati.
Jadi, sebelum kita menuai sukses, kuatkah kita menghadapi cobaan dan rintangan yang menghadang??
Sebelum kita menuai sukses, tabahkah kita menghadapi penderitaan dan ujian hidup?? Sebelum kita menuai sukses, bersabarkah kita dalam menjalani proses?
Mari kita wujudkan impian sukses kita, walau keringat dan darah harus jadi taruhannya…!
Salam sukses luar biasa!- Agus Riyanto
Sukses sejati, sukses dunia - akhirat.
0 Response to "Kisah seorang Petani dengan Sawahnya"
Post a Comment